Rabu, 11 Agustus 2010

Petani Tembakau Menangis

Tembakau merupakan komoditas utama yang banyak dibudidayakan di Kecamatan Kalikajar terutama di wilayah lereng Gunung Sumbing. Bahkan budidaya tembakau sudah menjadi sebuah gaya hidup bagi masyarakat di sana. Mereka merasa ada yang kurang apabila tidak menanam tembakau, hal ini dimungkinkan karena tanaman ini pernah menjadi "emas hitam" di era 80-an sampai awal tahun 90-an. Saat itu petani tembakau mengalami masa kejayaannya. Hal itu dapat diketahui dari kemegahan rumah beserta perabotan yang mereka miliki, pun juga banyaknya masyarakat sekitar lereng sumbing yang mampu melaksanakan ibadah haji sampai-sampai ada istilah 'kaji mbako' (haji tembakau-red).

Tapi kondisi tersebut sekarang berubah drastis. Harga tembakau cenderung turun berbanding terbalik dengan biaya produksi yang semakin meningkat. Belum lagi munculnya regulasi dari pemerintah yang membatasi luasan tanam petani. Yang terbaru bahkan ada wacana untuk menghapus produksi rokok yang notabene merupakan satu-satunya industri olahan tembakau. Apabila wacana itu terealisasi bisa dibilang petani tembakau sudah wassalam.

Di sisi lain perubahan iklim yang ekstrim sebagai efek dari global warming turut menambah nelangsa petani tembakau. Tembakau merupakan tanaman yang sangat sensitif terhadap perubahan cuaca terutama tingkat curah hujan. Seperti saat sekarang ini dimana seharusnya sudah mulai musim kering tapi ternyata di Wonosobo khususnya di Kecamatan Kalikajar di wilayah pertanaman tembakau curah hujannya masih tinggi. Seharusnya bulan Juni-Juli-Agustus mulai masa panen tapi petani masih menundanya karena panen dalam kondisi basah akan mengurangi rendemen tembakau sehingga pasti akan mengurangi kualitas tembakau itu sendiri. Di daerah lebih randah yang masa tanamnya kebih akhir bahkan lebih parah. Tanaman tembakau yang masih muda pertumbuhannya tidak sempurna bahkan layu dan mati akibat curah hujan yang masih tinggi. Untuk mengurangi kerugian, petani umunya langsung menanam komoditas lainnya sebagai pengganti tanaman tembakau yang mati. Istilahnya nandur mbako tukul jagung atau kobis. Masih untung daripada nandur mbako thukul padu, tapi mungkin yang menyenangkan kalo nandur mbako thukul arwana... paling tidak kita bisa tertawa ha..ha..ha...


Siapa yang harus disalahkan dalam kasus ini ???
Siapapun itu yang terpenting adalah bagaimana solusinya. Kita harus bisa berpikir kreatif dan efektif dalam mencari solusi yang adil untuk semuanya. Hal ini banyak ditentukan oleh kerjasama dari berbagai pihak dalam situasi yang kondusif didasari pikiran yang jernih. Petani harus mampu merubah sikap ketergantungannya pada komoditas tembakau, jangan hanya terbuai mimpi-mimpi tentang kejayaan tembakau di masa lampau. Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan harus memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan semua pihak terutama petani yang sudah menjadi kultur bangsa Indonesia sejak dahulu. Kita semua harus bisa mencari alternatif tanaman substitusi yang lebih baik atau minimal tidak terlalu jauh berbeda secara sosial-ekonomi dengan tanaman tembakau. InsyaALLAH kalo kita bisa menemukan solusi yang baik bagi semuanya, tanpa disuruh pun petani mau berganti komoditas. Yang pasti.. 
Jangan buat petani tembakau menangis lebih keras lagi...

0 komentar:

Posting Komentar