Rabu, 18 Juli 2012

KONSERVASI : BUDIDAYA TANAMAN LORONG (ALLEY CROPPING) TEMBAKAU DAN KOPI ARABIKA DI LAHAN PEGUNUNGAN

Banyak petani tembakau di kawasan lereng Gunung Sumbing, khususnya di wilayah Kecamatan Kalikajar bagian ‘atas’ mulai dari Desa Butuh, Bowongso, sampai Kwadungan, mengeluhkan penurunan produktivitas tanaman tembakau mereka, meskipun sudah dilakukan penambahan volume pemupukan. Penyebab utama permasalahan ini adalah penurunan kualitas tanah lahan garapan petani akibat pola usaha tani tanpa  memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lahan. Budidaya tanaman tembakau di lereng gunung yang merupakan lahan miring rawan akan bahaya erosi terlebih lagi di lereng Gunung Sumbing yang memiliki curah hujan tinggi. Erosi menggerus lapisan top soil, sumber hara terbesar untuk pertumbuhan tanaman, sehingga tanah semakin terdegradasi dan menjadi kurang subur bahkan bisa menjadi kurang stabil yang mengakibatkan longsor.
Penurunan kualitas tanah ini berdampak pada peningkatan cost (biaya) usahatani terutama untuk  penambahan volume pupuk, baik organik maupun anorganik, untuk dapat mempertahankan produktivitas tanaman. Di luar itu degradasi top soil juga berpotensi memunculkan patogen baru yang dapat merusak pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Dampak jangka panjangnya adalah anak cucu kita akan mewarisi lahan kritis yang tidak produktif lagi. Sungguh tragis apabila hal tersebut sampai terjadi di kawasan yang dahulunya merupakan surga bagi petani karena lahannya yang terkenal subur gemah ripah loh jinawi. Oleh karena itu pola usaha tani perlu terintegrasi dengan sistem konservasi atau yang biasa dikenal sebagai sistem usaha tani konservasi.

Konservasi adalah upaya pengendalian erosi dari lahan pertanian berlereng/miring dengan tetap menjaga keseimbangan sumberdaya alam dan berkelanjutan. Secara garis besar, teknik pengendalian erosi dibedakan menjadi dua, yaitu teknik konservasi mekanik dan vegetatif. Konservasi tanah secara mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan guna menekan erosi dan meningkatkan kemampuan tanah mendukung usahatani secara berkelanjutan. Pada prinsipnya konservasi mekanik dalam pengendalian erosi harus selalu diikuti oleh cara vegetatif, yaitu penggunaan tumbuhan/tanaman dan sisa-sisa tanaman/tumbuhan, serta penerapan pola tanam yang dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun. Tetapi permasalahan utama yang juga menjadi kunci sukses konservasi adalah motif ekonomi. Bagaimanapun juga hampir semua petani di lereng Sumbing menggantungkan hidupnya dari usaha taninya. Salah satu teknologi yang sesuai untuk tujuan ini adalah Budidaya Lorong (Alley Cropping).
Budidaya lorong adalah sistem pertanaman kombinasi antara tanaman semusim dengan tanaman tahunan, dengan penataan tanaman tahunan yang ditanam dalam larikan atau barisan secara teratur sehingga membentuk lorong-lorong atau ruang antara barisan tanaman tahunan yang dimanfaatkan untuk tanaman semusim. Budidaya lorong didasarkan pada prinsip ekonomis, penganekaragaman, konservasi dan berkelanjutan. Salah satu jenis komoditas yang bisa diterapkan bersama tanaman tembakau adalah kopi dari jenis Arabika.

Lingkungan tumbuh kopi arabika (Coffea arabica) tidak jauh berbeda dengan tembakau, yaitu tumbuh di daerah dengan ketinggian 700 – 1700 m dpl, dengan suhu 16 – 20 °C, dan beriklim kering 3 bulan/tahun secara berturut-turut sehingga chemistry kedua komoditas ini bisa terbentuk dalam budidaya lorong, dimana tembakau sebagai tanaman semusim berada di dalam lorong-lorong tanaman kopi arabika yang merupakan tanaman tahunan.
Secara ekonomis, budidaya lorong antara tembakau dan tanaman kopi arabika tidak akan merugikan petani. Apabila tanaman kopi arabika ditanam di pinggir teras dengan budidaya lorong menggunakan jarak tanaman 2,5 – 3 m, diasumsikan bahwa 1 tanaman kopi arabika akan menggantikan 4 tanaman tembakau. Panen pertama kopi arabika ± 3 tahun dengan produksi sekitar 4 kg kopi basah pertanaman untuk panen tahun pertama. Dengan perkiraan harga kopi basah Rp 3.000,-/kg maka dalam 3 tahun satu tanaman kopi arabika akan menghasilkan 4 kg x Rp 3.000,- = Rp 12.000,-. Bandingkan dengan tanaman tembakau, 1 tanaman tembakau apabila diakumulasikan maksimal laku terjual Rp 1.000,- dalam 3 tahun tanaman tembakau yang digantikan kopi akan menghasilkan 3 x 4 x Rp 1.000,- = Rp 12.000,-.
Meskipun dalam 3 tahun pertama profit yang diterima sama tetapi secara analisa usaha tani akan menguntungkan sistem budidaya lorong dengan tanaman kopi arabika, karena cost yang dikeluarkan lebih sedikit. Pengolahan lahan untuk tanaman kopi arabika cukup sekali, perawatannya lebih sederhana, dan cenderung aman dari hama penyakit sehingga bisa menekan biaya produksi. Dalam tahun-tahun berikutnya akan lebih menguntungkan lagi bagi petani karena hasil panen kopi arabika akan semakin meningkat menjadi 15 – 20 kg kopi basah pertanaman dengan umur produktif bisa mencapai 30 tahun.
Secara ekoligis, budidaya lorong tanaman tembakau dengan kopi arabika jelas akan mengurangi erosi. Tajuk dari tanaman kopi akan mengurangi intensitas air hujan yang langsung masuk ke tanah, perakarannya akan memperkuat stabilitas tanah, dan daun-daun tanaman kopi arabika yang jatuh ke tanah akan membusuk menjadi humus yang sangat bermanfaat untuk menjaga kesuburan tanah.

Perlahan, budidaya lorong mengarah menjadi monokultur tanaman kopi arabika yang secara ekonomis dan ekologis menguntungkan petani. Bukan tidak mungkin sutau saat nanti kawasan lereng Sumbing dikenal sebagai penghasil kopi arabika utama di negeri ini. Sehingga anak cucu kita masih bisa mewarisi sumber daya alam yang merupakan anugerah luar biasa yang diberikan oleh Sang Khalik kepada kita, wong nggunung. Naïf sekali rasanya jika kita tidak mensyukuri anugrah ini dengan cara memanfaatkan nikmat ini sebaik-baiknya dan menjaga kelestariannya untuk generasi mendatang.