Kamis, 18 November 2010

QURBAN

Bencana banjir di Wasior Papua, gempa & tsunami di Mentawai, dan letusan Gunung Merapi di Jateng dan D.I. Yogyakarta tak pelak mengundang keprihatinan kita semua. Kerugian yang diakibatkan takterhitung lagi, mulai dari korban jiwa manusia dan harta benda sirna tersapu bencana. Kondisi serupa berlaku untuk bidang usaha mereka, yang notabene sebagian besar adalah petani dan peternak. Lahan pertanian mereka tak luput dari terjangan bahaya, pun demikian dengan hewan ternak mereka. Siapa yang salah , “coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang” (lyric lagu Ebbiet G. Ade).
Mungkin sekarang sudah bukan saatnya lagi kita mencari-cari siapa yang salah, yang justru akan membuang energy percuma. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada. Bagaimana kita meminimalisasi dampak dari bencana yang sedang menguji negeri ini? Bagaimana kita bisa segera bangkit berdiri untuk menjadi pemenang?
Bencana yang silih berganti menerpa negeri tercinta ini tak pelak menohok sector pertanian yang merupakan komoditas terbesar di Indonesia. Ribuan hektar sawah dan ladang petani terendam banjir, tersapu ombak, diterjang lahar dingin, dihantam angin, dan terbakar api. Belum lagi kondisi iklim dan cuaca yang semakin tidak menentu, ditambah lagi serangan hama penyakit yang makin merajalela. Pengorbanan dan cobaan yang dihadapi petani kita memang sangat luar biasa di tahun-tahun terakhir ini.
Di sisi lain harga sarana produksi semakin naik tanpa mampu diimbangi oleh kanaikan harga produk pertanian. Kebijakan pemerintah terkadang kurang pro terhadap petani dan justru lebih banyak menguntungkan pengusaha besar. Banyak program pemerintah yang digulirkan dengan maksud meningkatkan nilai tukar petani, tetapi pada aplikasinya banyak petani yang mengeluh karena terhadang oleh rumitnya birokrasi dan adanya pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang hanya mementingkan kepentingan pribadinya sendiri.
Sungguh ironi, di nagara agrasis seperti Indonesia, pembangunan sektor pertanian seringkali dikalahkan oleh kepentingan lain yang nilai manfaatnya jauh di bawahnya bahkan terkadang hanya bermanfaat untuk golongan tertentu saja. Pelaku sektor pertanian hanya dijadikan korban dari kondisi yang tidak memihak.
Kembali lagi, kita tidak sedang mencari siapa yang salah, tetapi bagaimana solusinya? Bencana alam yang menerjang bangsa ini tidak dapat kita tolak, tetapi kita bisa berikhtiar untuk meminimalisasi kerusakan yang ditimbulkan, kita bisa memulai memperhatikan kelestariaan sumber daya alam kita. Kita harus bisa memulai mengurangi kerakusan dan sifat merusak kita terhadap alam lingkungan sekitar. Solusi utama yang paling tepat untuk kelestarian sumberdaya alam khususnya sumberdaya pertanian adalah peningkatan kualitas sumber daya manusianya.
Tak dapat dipungkiri bahwa SDM pelaku usaha tani di Indonesia sungguh di bawah rata-rata. Pendidikan formal yang mereka terima tak lebih dari sekolah dasar. Sehingga kemampuan mereka untuk kreatif bagaimana mengubah permasalahan menjadi penghasilan masih perlu diasah lagi. Disinilah peran penyuluhan pertanian menjadi sangat vital. Penyuluhan pertanian dengan fungsi utamanya sebagai fasilisator, motivator, organisator, dan konsultan bagi pelaku usaha tani akan dapat merubah perilaku, sikap, dan ketrampilan petani sehingga pelaku usaha tani bisa menolong dirinya dan keluarganya yang pada akhirnya tercapai kesejahteraan.
 Tugas ini tidaklah mudah, oleh karena itu pemerintah dalam upaya revitalisasi pertanian telah memberikan paying hokum dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K). Akan tetapi undang-undang tersebut pada pelaksanaanya belum sepenuhnya dilaksanakan, masih pada tahap memulai, sehingga berlu ada pendorong untuk percepatan terlaksananya kegiatan penyuluhan yang tujuan akhirnya kesejahteraan masyarakat. Pemerintah memulai upaya ini dengan pengangkatan Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluhan Pertanian (THL-TBPP) untuk memenuhi satu desa satu penyuluh. Langkah ini berhasil meningkatkan kualitas SDM petani khususnya sehingga swasembada beras dapat tercapai.
Pada perkembangannya ternyata penyuluh benar-benar telah menyatu dengan masyarakat tani, mereka sama-sama selalu berkorban. Penyuluh sebagai ujung tombak terdepan dalam menggerakkan pertanian dari titik paling bawah, setali dengan nasib penyuluh, apalagi THLTBPP yang sering di bawah. Dengan semakin banyaknya kegiatan dari Kementrian Pertanian membuat kegiatan penyuluhan menjadi lebih banyak dan kompleks, tetapi kesejahteraan penyuluh dan terutama THLTBPP semakin tidak jelas. Setelah pemerintah hampir memberhentikan kontrak  THLTBPP angkatan 1 pada awal tahun ini, kini setelah mereka 12 bulan bekerja hanya mendapatkan honor 5½ bulan!
Sekarang saatnya pemerintah dan wakil rakyat juga ikut berkorban memikirkan nasib petani, penyuluh, dan semua pelaku usaha tani dan mengupayakan solusi untuk meningkatkan kesejahteraanya. Para elite sudah semestinya turun ke bawah melihat kondisi real yang ada di lapangan, bagaimana petani sangat butuh penyuluh, begitu juga bangsa ini butuh tangan-tangan terampil petani kita untuk menjaga ketahanan pangan dan perputaraan perekonomian kita. Sudah saatnya para elite negeri ini menekan kepentingan individu dan golongan ntuk lebih memikirkan kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan bangsa dan negara Indonesia tercinta.
Kita semua perlu lebih melapangkan dada, iklas berkorban demi kemajuan pembangunan pertanian di Indonesia. Dengan kerjasama dan sinergi yang abik antara pemangku jabatan, pemilik kepentingan, dan pelaku usaha tani akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani demi terwujudnya negara adil makmur gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharaja.

0 komentar:

Posting Komentar